"If we continue to develop our technology without wisdom or prudence, our servant may prove to be our executioner."
(Omar N. Bradley)
Sadarkah kita bahwa sebagian besar dari kita sudah mengalami Gadgetaholic itu, atau paling tidak mabuk gadget. Ciri-cirinya:
1. Tinggal bersama, namun hidup sendiri-sendiri. Berkumpul di ruang keluarga dengan TV menyala, tapi semua sibuk dengan gadget-nya masing-masing.
2. Makan malam bersama dan (mengaku) ngobrol, tapi update status terbaru kondisi anak-anak justru didapatkan oleh orangtua melalui status jejaring sosial. Eh, itu pun bila bersedia saling mem-follow
3. Keberadaan anak/orangtua lebih mudah dipantau melalui jejaring sosial ketimbang saling menjawab pertanyaan "hari ini rencananya mau ke mana?"
4. Guru lebih sering mengingatkan orangtua melalui SMS, tugas sekolah dan keperluannya, ketimbang anak memberitahu orangtuanya langsung.
5. Lebih menyedihkan bila orangtua pada akhirnya baru mengetahui hal-hal mengenai anaknya melalui "Youtube", setelah videonya sudah diview ratusan atau ribuan kali oleh orang lain.
Beberapa saat lalu, kita dikejutkan dengan video siswa SMP yang melakukan hubungan seksual di depan teman-temannya, dan direkam. Ouch! Sama sekali tidak bermaksud untuk ikut menyudutkan dan mencari siapa yang salah, tapi setidaknya kita bisa berbuat sesuatu agar hal ini tidak terjadi lagi.
Saya tidak berfikir bahwa semua ini adalah cara untuk membuka mata kita mengenai realita yang ada, kita tidak perlu semua itu untuk sadar... karena ketika hal ini terjadi, berarti sudah mengorbankan seseorang, sebuah keluarga, sebuah instansi, dan semua relasinya.
Banyak yang bisa dilakukan agar kita tidak menjadi mabuk teknologi dan menjadi korban teknologi.
1. Lihatlah dan sadari gadget sebagaimana dengan fungsinya, bukan terlena dengan kecanggihannya yang semakin memudahkan, sekaligus mengisolir kita.
2. Ada saat-saat di mana gadget tidak perlu ikut ke mana pun kita berada. Ingat! Meletakkan gadget di dekat tempat tidur sudah terbukti secara klinis tidak bersahabat bagi kesehatan. Dan terlalu sering mengantongi handphone, juga sama berbahayanya.
3. Jadikan saat-saat bersama keluarga, seperti makan malam dan menonton TV bersama sebagai kegiatan intim yang sakral, dan terlalu berharga untuk diinterupsi oleh dering telpon, chat, atau notifikasi media sosial.
Bercakap-cakap secara langsung dengan anak-anak dan istri/suami/adik/kakak memberikan ruang untuk membangun kedekatan psikologis, sekaligus membangun kehangatan. Hal ini tidak akan tercipta bila Anda dan anak-anak hanya bercakap melalui telpon genggam, bahkan "Skype" atau jenis media lain.
Anda mengira bisa mengorek rahasia anak-anak melalui media sosialnya, chat-roomnya? Well, I don't think so! Mereka adalah digital native, dan teknologi adalah nama tengah mereka. Which is, langkah Anda akan terbaca di kesempatan kedua olehnya. Dan ia akan selalu selalu menjadikan medianya sebagai kedok terbaiknya, sementara ia menciptakan akun lain untuk ekspresinya :)
Saya terdengar berlebihan? Hehe... mungkin :) Tapi seorang kolega saya, seorang ahli di bidang komunikasi pernah berkata "jangan pernah mengintip dari balik bahu anak-anak kita ketika mereka sedang berinternet." Sekali dilakukan, anak-anak akan membangun tembok yang akan semakin sulit-dan sulit untuk kita lompati. Hal yang akan selalu saya camkan baik-baik dalam membesarkan my one precious digital native :)
4. Think before you post! Think before you click!
Ini tidak hanya berlaku untuk anak-anak, namun juga untuk Anda. Banyak orang dewasa yang tidak lebih kurang narsis dibanding anak-anak/remaja. Sadarilah, bahwa berdasar UU ITE tidak hanya mempidanakan pembuat, namun juga penyebar. Jadi jangan sembarangan membuat dan menyebarkan berita atau foto yang tidak senonoh, bahkan melakukan aksi cyber bullying atau mencemarkan nama buruk seseorang/instansi.
Bukan hanya itu, berhati-hatilah dengan kemungkinan tindak kejahatan yang terjadi akibat kealpaan kita dalam memikirkan lebih dulu posting kita. Para fedofil di penjuru dunia bisa saja memanfaatkan kerentanan yang kita ciptakan dari sekedar posting foto anak-anak kita yang tidak cukup sopan. Dan anak-anak adalah objek yang menurut mereka mudah untuk dikendalikan. Seram?! Yeah!!
Ingat selalu bahwa apapun yang sudah pernah Anda upload ke "cloud" selamanya akan ada di sana. Bahkan apabila Anda sudah mengambil langkah penghapusan, semua bisa dikembalikan. Jadi, hati-hatilah dengan tombol upload.
5. Anda mungkin digital immigrant* yang pasti mengalami kesulitan mengejar ketinggalan dari digital-digital native* (baca: anak-anak) di sekitar kita. Tapi Anda setidaknya harus berusaha, ketika Anda menyadari konsekwensinya, maka Anda akan selalu selangkah di depan mereka. Karena konsekwensi adalah hal terakhir yang terbayang oleh otak-otak kecil mereka.
Jangan pernah berhenti belajar, sekalipun sulit... karena putra/i kita membutuhkan bantuan kita melebihi yang kita duga.
Terbukalah, jangan jadi hakim, apalagi eksekutor yang cuma bisa menyalahkan apabila mereka sudah menghadapi konsekwensi yang tidak diharapkan. Ini adalah kesalahan kalian bersama, dalam banyak cara. Dan cara melaluinya juga adalah dengan bersama-sama memikirkan penyelesaiannya, bukan dengan saling menyalahkan.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua, para digital immigrant yang seumur hidup harus berpura-pura sok digital native :) di depan anak-anak kita.
*Mengenai Digital Immigrant dan Digital Native sudah saya bahas dalam posting sebelumnya "Digital Natives Vs Digital Immigrant Vs Digital Retards" -- Mei 2013.
(Omar N. Bradley)
Sadarkah kita bahwa sebagian besar dari kita sudah mengalami Gadgetaholic itu, atau paling tidak mabuk gadget. Ciri-cirinya:
1. Tinggal bersama, namun hidup sendiri-sendiri. Berkumpul di ruang keluarga dengan TV menyala, tapi semua sibuk dengan gadget-nya masing-masing.
2. Makan malam bersama dan (mengaku) ngobrol, tapi update status terbaru kondisi anak-anak justru didapatkan oleh orangtua melalui status jejaring sosial. Eh, itu pun bila bersedia saling mem-follow
3. Keberadaan anak/orangtua lebih mudah dipantau melalui jejaring sosial ketimbang saling menjawab pertanyaan "hari ini rencananya mau ke mana?"
4. Guru lebih sering mengingatkan orangtua melalui SMS, tugas sekolah dan keperluannya, ketimbang anak memberitahu orangtuanya langsung.
5. Lebih menyedihkan bila orangtua pada akhirnya baru mengetahui hal-hal mengenai anaknya melalui "Youtube", setelah videonya sudah diview ratusan atau ribuan kali oleh orang lain.
Beberapa saat lalu, kita dikejutkan dengan video siswa SMP yang melakukan hubungan seksual di depan teman-temannya, dan direkam. Ouch! Sama sekali tidak bermaksud untuk ikut menyudutkan dan mencari siapa yang salah, tapi setidaknya kita bisa berbuat sesuatu agar hal ini tidak terjadi lagi.
Saya tidak berfikir bahwa semua ini adalah cara untuk membuka mata kita mengenai realita yang ada, kita tidak perlu semua itu untuk sadar... karena ketika hal ini terjadi, berarti sudah mengorbankan seseorang, sebuah keluarga, sebuah instansi, dan semua relasinya.
Banyak yang bisa dilakukan agar kita tidak menjadi mabuk teknologi dan menjadi korban teknologi.
1. Lihatlah dan sadari gadget sebagaimana dengan fungsinya, bukan terlena dengan kecanggihannya yang semakin memudahkan, sekaligus mengisolir kita.
2. Ada saat-saat di mana gadget tidak perlu ikut ke mana pun kita berada. Ingat! Meletakkan gadget di dekat tempat tidur sudah terbukti secara klinis tidak bersahabat bagi kesehatan. Dan terlalu sering mengantongi handphone, juga sama berbahayanya.
3. Jadikan saat-saat bersama keluarga, seperti makan malam dan menonton TV bersama sebagai kegiatan intim yang sakral, dan terlalu berharga untuk diinterupsi oleh dering telpon, chat, atau notifikasi media sosial.
Bercakap-cakap secara langsung dengan anak-anak dan istri/suami/adik/kakak memberikan ruang untuk membangun kedekatan psikologis, sekaligus membangun kehangatan. Hal ini tidak akan tercipta bila Anda dan anak-anak hanya bercakap melalui telpon genggam, bahkan "Skype" atau jenis media lain.
Anda mengira bisa mengorek rahasia anak-anak melalui media sosialnya, chat-roomnya? Well, I don't think so! Mereka adalah digital native, dan teknologi adalah nama tengah mereka. Which is, langkah Anda akan terbaca di kesempatan kedua olehnya. Dan ia akan selalu selalu menjadikan medianya sebagai kedok terbaiknya, sementara ia menciptakan akun lain untuk ekspresinya :)
Saya terdengar berlebihan? Hehe... mungkin :) Tapi seorang kolega saya, seorang ahli di bidang komunikasi pernah berkata "jangan pernah mengintip dari balik bahu anak-anak kita ketika mereka sedang berinternet." Sekali dilakukan, anak-anak akan membangun tembok yang akan semakin sulit-dan sulit untuk kita lompati. Hal yang akan selalu saya camkan baik-baik dalam membesarkan my one precious digital native :)
4. Think before you post! Think before you click!
Ini tidak hanya berlaku untuk anak-anak, namun juga untuk Anda. Banyak orang dewasa yang tidak lebih kurang narsis dibanding anak-anak/remaja. Sadarilah, bahwa berdasar UU ITE tidak hanya mempidanakan pembuat, namun juga penyebar. Jadi jangan sembarangan membuat dan menyebarkan berita atau foto yang tidak senonoh, bahkan melakukan aksi cyber bullying atau mencemarkan nama buruk seseorang/instansi.
Bukan hanya itu, berhati-hatilah dengan kemungkinan tindak kejahatan yang terjadi akibat kealpaan kita dalam memikirkan lebih dulu posting kita. Para fedofil di penjuru dunia bisa saja memanfaatkan kerentanan yang kita ciptakan dari sekedar posting foto anak-anak kita yang tidak cukup sopan. Dan anak-anak adalah objek yang menurut mereka mudah untuk dikendalikan. Seram?! Yeah!!
Ingat selalu bahwa apapun yang sudah pernah Anda upload ke "cloud" selamanya akan ada di sana. Bahkan apabila Anda sudah mengambil langkah penghapusan, semua bisa dikembalikan. Jadi, hati-hatilah dengan tombol upload.
5. Anda mungkin digital immigrant* yang pasti mengalami kesulitan mengejar ketinggalan dari digital-digital native* (baca: anak-anak) di sekitar kita. Tapi Anda setidaknya harus berusaha, ketika Anda menyadari konsekwensinya, maka Anda akan selalu selangkah di depan mereka. Karena konsekwensi adalah hal terakhir yang terbayang oleh otak-otak kecil mereka.
Jangan pernah berhenti belajar, sekalipun sulit... karena putra/i kita membutuhkan bantuan kita melebihi yang kita duga.
Terbukalah, jangan jadi hakim, apalagi eksekutor yang cuma bisa menyalahkan apabila mereka sudah menghadapi konsekwensi yang tidak diharapkan. Ini adalah kesalahan kalian bersama, dalam banyak cara. Dan cara melaluinya juga adalah dengan bersama-sama memikirkan penyelesaiannya, bukan dengan saling menyalahkan.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua, para digital immigrant yang seumur hidup harus berpura-pura sok digital native :) di depan anak-anak kita.
*Mengenai Digital Immigrant dan Digital Native sudah saya bahas dalam posting sebelumnya "Digital Natives Vs Digital Immigrant Vs Digital Retards" -- Mei 2013.
Komentar
Posting Komentar