"Life doesn't imitate art, it imitates bad television"
--Woody Allen--
Televisi... siapa yang tidak punya?
Berapa perangkat TV yang Anda punya di rumah? Mungkin bisa saja tersedia di setiap kamar... termasuk di kamar putera/i Anda.
TV bisa jadi adalah media yang paling akrab dengan siapa saja saat ini, dan beberapa menganggap bahwa TV adalah jendela dunia yang baru. Anda bisa mengetahui dan melihat dengan nyata semua hal di ujung penjuru dunia yang belum pernah Anda datangi, melalui TV. Anda bisa melihat bagaimana bunga mekar dari detik ke detik dengan jarak yang sangat dekat, sesuatu hal yang hampir mustahil dilakukan sendiri... dalam kenyataannya, tanpa bantuan alat. Melihat hewan berkelahi tanpa resiko diserang, melihat cara suku Eskimo membangun Igloo tanpa harus menggigil kedinginan, dan lain sebagainya.
Yah, TV bisa sangat menghibur, bisa juga sangat mendidik.
Tapi mari berhitung tentang apa yang Anda dapatkan dari TV Nasional yang Anda tonton belakangan ini. Lebih banyak mendidiknya? atau sekedar menghibur tapi membodohi? atau tidak menghibur juga tidak mendidik, dan lebih karena terpaksa karena keterbatasan pilihan hiburan?
Saya ingin mengajak Anda melihat "hidangan" TV Nasional kita dari sudut pandang anak-anak kita.
Diawali dengan sinetron, TV kita disesaki sinetron (yang katanya) ber-rating tinggi yang sarat dengan adegan perseteruan, makian, hinaan, diskriminasi, hingga adegan wanita jahat yang melotot dengan seram lalu mengancam dan tidak jarang melakukan adegan kekerasan, seperti mendorong seseorang hingga jatuh menggelinding di tangga, menampar, hingga sinetron komedi yang menampilkan adegan kasar yang berbahaya.
Perhatikan bahwa sinetron kita secara kuantitas "ramah" pada remaja, di mana-mana tampil kisah-kisah anak sekolah (lengkap dengan seragam, atributnya, hingga adegan di kelas). Tapi perhatikan isinya... apakah juga se"ramah" jumlahnya? Anda akan menemukan anak kaya, cantik, dan populer menindas temannya yang miskin/nerd/biasa saja/bertubuh besar. Remaja pria yang atletis, tampan, kaya, dan (lagi-lagi) populer menindas temannya yang kebetulan miskin/nerd/biasa saja/bertubuh besar.
Bullying adalah tema besar setiap sinetron remaja, tentu saja selain soal asmara (pacaran). Dan seolah-olah sekolah cuma tempat pacaran dan bergosip, maka bullying adalah bagian dari akibat dari "pacar yang direbut teman" atau "pacar yang suka sama orang yang nggak sesuai kastanya" atau "iri karena cowo/cewe idaman justru naksir sama cewe/cowo yang tidak sesuai kastanya."
Tidak kah Anda merasa dibodohi?
Tapi apa yang ada di pikiran para remaja penonton sinetron itu? Semua sinetron ini adalah "literatur" menarik yang memberikan inspirasi.
Tidak percaya?
Di era Anda, umur berapa Anda mulai "memahami" lawan jenis dan berpikir untuk pacaran? Bandingkan dengan sekarang.
Sadarilah bahwa bullying adalah salah satu momok di setiap sekolah yang susah payah dihalau oleh para pengajar kita. Bila tidak terjadi di sekolah, maka itu terjadi di luar... dan bisa melalui media apa saja!
Mari kita lanjutkan pembahasan kita pada acara-acara musik dan reality show. Apa yang Anda temukan? Joget yang awalnya terkesan atraktif dan lucu, lama-lama memuakkan karena tidak diperbaharui. Para host yang saling meledek kelemahan fisik, dan menjadikan anggota yang paling jelek (secara fisik) sebagai bulan-bulanan. Di mana tata krama yang jaman dulu susah payah diajarkan orangtua kita?
Anak-anak... mereka perekam, apa saja ditelan bagai spons basah... tanpa proses editing, tanpa ayakan, tanpa filter. Alhasil, Anda akan menemukan banyak anak-anak yang dengan enteng meledek orang lain yang bertubuh besar, "dasar gendut!"
Anda mungkin senang menonton pertandingan adu jotos seperti tinju dan film sarat adegan kekerasan dan pembunuhan. Anda sadari itu adalah olah raga, itu cuma film... adalah dosa menyakiti orang lain, adalah penjara hukuman bagi mereka yang membunuh orang lain.
Anak-anak merekam adegan gulat "WCW" (yang sempat sangat populer) dan adegan baku tembak dalam perang tanpa filetr sebab akibat... alhasil, beberapa anak menjadi korban ketika mencoba memperagakan apa yang dilihatnya di adu "WCW". Beberapa anak di beberapa negara nekat menghujani sekolahnya dengan peluru karena alasan yang sama yang dilihatnya di TV, menghancurkan musuh.
Ayah, Bunda... ANAK-ANAK BUKAN ORANG DEWASA MINI. Otak mereka masih berproses untuk memahami sebab-akibat, nurani mereka masih diasah dengan empati dan simpati yang perlu diajarkan, tata krama dan sopan-santun mereka masih membutuhkan proses panjang mencontoh tindak-tanduk orang-orang di sekitarnya, khususnya Anda sebagai orangtuanya.
Karenanya, jangan permisif! Jangan meremehkan segala hal yang diperoleh anak-anak di TV. Jangan menganggap bahwa itu tidak akan berpengaruh pada anak-anak Anda, karena Anda tidak akan pernah tahu... hingga terlambat.
Kritis lah dengan semua muatan TV, khususnya yang ikut dikonsumsi oleh anak-anak Anda. Jelaskan setiap hal dengan pemahaman berpikir Anda sebagai orang dewasa yang sudah lebih bijak daripada anak-anak Anda. Berikanlah contoh yang positif, termasuk dengan pemahaman tingkat lanjut Anda. Satu-dua kali, Anda akan mendapati bahwa anak-anak akan berkata "ah, mama lebay! Nggak mungkin lah!," tapi setidaknya anak Anda sudah memahami sudut pandang Anda. Ini adalah modal bagi mereka untuk bertindak di kemudian hari, benarkah mamanya lebay, atau memang itulah kenyataan yang tidak diharapkan orangtuanya.
Pendampingan dalam menonton TV Anda detik ini tidak akan membuahkan hasil dalam waktu dekat, namun itu adalah modal bagi mereka untuk ikut bertindak kritis dan tidak permisif dengan kondisi di sekitarnya. Jadi apa salahnya menabur benih dengan meluangkan sedikit waktu menyenangkan bersama putera/i Anda?
Kritis lah juga... bila Anda menemukan hal yang tidak berkenan, LAPORKAN! Kirimkan aduan Anda ke Pengaduan KPI atau SMS ke 0812 13070000 atau telpon ke 021-6340626. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) akan menindak lanjuti laporan Anda demi TV Nasional yang lebih baik.
Kita punya kewajiban dan tanggung jawab untuk membuat dunia pertelevisian Indonesia lebih baik... dan tentu saja demi kebaikan masa depan bangsa kita, yang ada di tangan putera/i kita.
Komentar
Posting Komentar